Kartel Scootermatic dikenal sebagai kasus kartel motor antara Astra Honda Motor (AHM) dan Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM). Kasus ini kembali muncul setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Indonesia memutuskan keduanya wajib membayar denda.

Astra Honda Motor adalah distributor sepeda motor yang dimiliki bersama oleh konglomerat Indonesia PT Astra International dan Honda Motor Co Ltd Jepang, sedangkan Yamaha Indonesia adalah bagian dari Yamaha Group Jepang. 

Pada 2016, kedua perusahaan menguasai 97,4 persen pasar sepeda motor Indonesia. Sepeda motor sangat populer di Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan penjualannya merupakan indikator utama konsumsi.

Selain dominasi pasar skutik yang sangat dominan dari kedua perusahaan tersebut, ICC juga menemukan bahwa pergerakan harga skutik Yamaha dan Honda berjalan beriringan.  Kenaikan harga skutik yamaha selalu mengikuti kenaikan harga skutik honda.

Kartel Scootermatic

Kasus kartel motor tersebut bermula dari sebuah penelitian pada tahun 2014 yang dilanjutkan dengan penyelidikan pasal 5(1) hukum persaingan Indonesia, UU No.5/1999, yang diduga dilakukan oleh dua perusahaan multinasional, YIMM dan AHM, tentang pemasaran produk kelas skutik 110-125cc.

Pasal 5 (1) mengatur bahwa perusahaan dilarang membuat perjanjian dengan perusahaan pesaingnya untuk menetapkan harga barang dan atau jasa tertentu yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan di pasar bersangkutan yang sama.

Pasar yang relevan dalam hal ini adalah pemasaran kelas skutik 110cc – 125cc di Indonesia.  Komisi menyatakan bahwa penunjukan 110cc – 125cc sejalan dengan konsep definisi produk dalam teori anti-trust yang berlaku.

Hal ini di mana suatu produk harus didefinisikan sesempit mungkin, dan dengan mempertimbangkan karakteristik produk, jangkauan pemasaran, dan  perilaku terlapor yang bersangkutan.

Investigasi dan temuan KPPU

Pada Juni 2014 KPK membentuk tim penyidik ​​untuk mengusut dugaan perbuatan kartel yang dilakukan oleh Astra Honda Motor dan Yamaha Indonesia. Dalam kasus ini, penyidik ​​ICC menemukan bukti adanya komunikasi “kolusif” langsung antara presiden dan eksekutif pemasaran kedua perusahaan antara tahun 2013 dan 2015.

Bukti komunikasi kasus kartel motor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pertemuan di lapangan golf 

Ada pertemuan di lapangan golf antara Presiden Direktur AHM dengan Direktur Utama YIMM selama tahun 2013 sampai dengan November 2014.

2. Tentang Email tertanggal 28 April 2014

Pada tahun 2014, wakil presiden YIMM meneruskan email dengan subjek email Fw: Price Issue dari Direktur Utama YIMM kepada Direktur Pemasaran, Direktur Penjualan, General Manager Pemasaran YIMM.

3. Seputar Email tertanggal 10 Januari 2015

Email tertanggal 10 Januari 2015 dengan subjek Retail Pricing Issue dikirim oleh Direktur Pemasaran YIMM dan dikirimkan kepada Wakil Presiden Direktur dan Direktur Penjualan YIMM.

Keputusan KPPU

KPPU menilai bahwa e-mail ini merupakan alat komunikasi resmi yang dilakukan antara manajemen tingkat atas YIMM. Oleh karena itu, mempertimbangkan kapasitas pengirim dan penerima email serta media yang digunakan (alamat email resmi perusahaan).

Selain bukti komunikasi, ICC juga memberikan analisis ekonomi harga yang berlebihan untuk skuter matic Honda dan Yamaha. ICC juga melakukan teleconference dengan JFTC untuk membahas beberapa pendekatan dalam menangani kasus ini.

Pada tahun 2017, ICC memutuskan bahwa 2 (dua) pelaku usaha di Industri Sepeda Motor Skuter Otomatis yaitu PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT.  Astra Honda Motor (AHM) secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Kartel Penetapan Harga Dalam Industri Sepeda Motor Kelas Skutik 110-125cc.  

Selain penyesatan penetapan harga, KPPU juga menyimpulkan bahwa YIMM secara sengaja dan sistematis menyajikan fakta untuk membangun persepsi yang berpihak pada kepentingan YIMM. 

Dengan demikian KPPU memutuskan untuk mengenakan denda maksimal bagi YIMM sebesar Rp 25 miliar atau USD 1,8 juta dan Rp 22,5 miliar kepada AHM atau USD 1,6 juta yang harus disetorkan ke kas negara.

Dalam kasusnya, Terlapor menyatakan bahwa pemeriksaan ICC tidak sejalan dengan asas due process of law dan melanggar KUHAP. Namun, pada 23 April 2019 Mahkamah Agung RI membantah pernyataan tersebut dan menguatkan putusan ICC.

Dalam perkembangan kasusnya, kedua pihak juga diminta untuk mengembalikan uang konsumen yang telah membayar lebih saat melakukan pembelian dalam kasus kartel motor tersebut.


Like it? Share with your friends!

0
Josua Sarajar

Komentar